Langkah Trump Dikecam Banyak Pihak

Posted on

Liputan6.com (7/12), Presiden resmi Amerika Serikat, Donald Trump, pada Rabu (6/12) waktu Washington secara resmi melalui pidato kenegaraannya di Gedung Putih telah mengakui bahwa Yerusalem merupakan ibu kota Israel. Keputusannya tersebut jelas telah bertentangan dengan kebijakan luar negeri Amerika yang selama ini telah berjalan dalam tujuh dekade terakhir. Pidato Trum terkait status Yarusalem tersebut sekaligus menandai langkah awal pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke kota Yerusalem.

Saat berpidato di Diplomatic Reception Room, Gedung Putih, Trump berujar, “Hari ini, akhirnya kita mengakui hal yang jelas: bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel”. Trump juga menyatakan bahwa hal itu tidak lebih dari sekadar pengakuan akan realitas. Ini juga hal yang tepat untuk dilakukan. Ini hal yang harus dilakukan.
Selama tujuh dekade, AS bersama dengan hampir seluruh negara lainnya di dunia, menolak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel sejak negara itu mendeklarasikan pendiriannya pada 1948. Menurut Presiden AS dari Partai Republika itu menyatakan bahwa kebijakan penolakan tersebut membawa seluruh pihak tidak mendekati kesepakatan damai antara Israel dan Palestina. Dirinya melanjutkan bahwa akan menjadi sebuah kebodohan untuk mengasumsikan bahwa mengulang formula yang sama persis sekarang akan menghasilkan kesimpulan (output) yang berbeda atau lebih baik. Menurut Presiden AS tersebut, pengakuan terhadap status kota Yerusalem merupakan sebuah langkah terlambat untuk memajukan proses perdamaian (di sana).

Tools Broadcast WhatsApp

Perlu diketahui bahwa sebelumnya Presiden Trump telah bersumpah akan menjadi perantara “kesepakatan akhir” antara negara zionis Israel dan Palestina. Terkait hal hal tersebut, Trump menegaskan bahwa pihaknya akan tetap berkomitmen untuk melakukan hal tersebut mengingat menurut persepsi di pihaknya hal itu sangat penting bagi Israel dan Palestina. Trump meyatakan bahwa keputusannya untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel tidak seharusnya ditafsirkan bahwa negara itu mengambil posisi tertentu atau bagaimana kota itu akan dibagi.

Trump menambahkan, “dalam pengumuman ini (status Yarusalem), saya ingin mempertegas satu hal, yakini keputusan ini tidak dimaksudkan, dengan cara apa pun, untuk menunjukkan penarikan diri dari komitmen kuat kami untuk memfasilitasi kesepakatan perdamaian abadi. Kami (AS) menginginkan sebuah kesepakatan yang menjadi kesepakatan baik bagi Israel maupun Palestina”. Ia juga berujar bahwa pihaknya tidak mengambil posisi untuk status akhir pada isu-isu tertentu, termasuk perbatasan spesifik kedaulatan Israel di Yerusalem atau resolusi perbatasan yang diperdebatkan. Itu menjadi urusan pihak-pihak yang terlibat. Sebagai ganti dari hal tersebut, Presiden AS itu menekankan dimensi politik dalam negeri atas keputusannya tersebut.

Dalam kampanye Pilpres 2016, ia mengatakan bahwa dirinya telah berjanji untuk memindahkan Kedubes AS ke Yerusalem yang berarti mengakui kota itu sebagai ibu kota Israel. Trump dalam pidatonya juga berujar bahwa presiden-presiden AS sebelumnya telah menjadikan itu sebagai janji utama dalam kampanye mereka, tapi mereka gagal mewujudkannya. Hari ini, saya melakukannya. Meskipun tidak disinggung dalam pidatonya, Presiden AS tersebut dilaporkan akan tetap menandatangani perintah untuk membekukan perpindahan per enam bulanan Kedubes Amerika ke kota Yerusalem. Pejabat Gedung Putih memaparkan bahwa hal tersebut harus dilakukan, mengingat butuh waktu beberapa tahun untuk memindahkan misi diplomatik negara tersebut ke Yerusalem. Trump sebenarnya menyadari pertentangan yang timbul atas keputusannya tersebut. Menurutnya dalam pidato tersebut, “Jadi hari ini, kami serukan agar ketenangan, sikap menahan diri, suara-suara toleransi harus menang atas penebar kebencian”.

 

Kecaman dari Banyak Pihak

 

Pengakuan Presiden AS atas Yerusalem itu dinilai banyak pihak dapat mengisolasi Amerika dalam salah satu isu diplomatik paling sensitif di dunia. Sebelumnya, pernyataan Trump tersebut telah menuai badai kritik dari para pemimpin negara-negara Arab dan Eropa.

Presiden Prancis Emmanuel Macron, saat dihubungi CNN via telepon pada 4 Desember lalu telah menyampaikan pada Trump bahwa ia “prihatin” dengan rencana sepihak Presiden AS itu mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Presiden Prancis itu berujar bahwa setiap keputusan mengenai status kota yang diperebutkan harus ‘dalam kerangka negosiasi antara Israel dan Palestina”. Selain itu Macron juga menegaskan bahwa standar posisi internasional, status Yerusalem harus diselesaikan melalui perundingan damai antara Israel dan Palestina dan terutama yang berhubungan dengan pembentukan dua negara (two state solutions), hidup berdampingan secara damai dan aman dengan Yerusalem sebagai ibu kota mereka berdua.

Sekutu utama Negeri AS di Timur Tengah, Saudi, melalui Duta Besarnya di Washington, Pangeran Khalid bin Salman merilis pernyataan senada dengan Presiden Prancis tersebut. Ia berujar, “Setiap pengumuman sebelum penyelesaian akhir memiliki dampak merugikan pada proses perdamaian dan akan meningkatkan ketegangan di kawasan,”. Selain itu, Khalid bin Salman juga menyatakan bahwa pihaknya bekerja sama dengan AS mengenai penyelesaian damai di Timur Tengah dan tetap berkomitmen atas solusi damai 1967. Ia menyatakan, “Kami bekerja sama dengan tim negosiasi damai Presiden untuk mencapai penyelesaian yang adil,”.

Hal senada juga disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shukri, dilaporkan bahwa ia telah berbincang dengan mitranya, yakini Menteri Luar Negeri negara Paman Sam itu, Rex Tillerson. Menteri Luar Negeri negara seribu piramid itu memperingatkan Negeri Amerika akan bahaya yang mungkin terjadi jika Trump nekat melaksanakan rencana tersebut. Dikutip dari halaman Haaretz.com, Menteri Luar Negeri Mesir tersebut menekankan bahwa pengakuan terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel tidak hanya akan mengubah kebijakan luar negeri negara Paman Sam tersebut, yang selama beberapa dekade ini konsisten, pernyataan Trump juga dapat memicu kekerasan di Timur Tengah dan runtuhnya proses perdamaian Israel-Palestina. Shukri itu menyatakan bahwa makna historis dan religius Yerusalem harus disikapi dengan kehati-hatian ketika dikaitkan dengan status diplomatik kota tersebut. Menurut pihaknya, isu ini tidak hanya penting bagi Palestina, tapi juga dunia Arab dan muslim secara keseluruhan mengingat semangat solidaritas sesama muslim begitu tinggi. Ia juga menambahkan bahwa Mesir tertarik untuk membantu membangun kepercayaan antara Israel dan Palestina sehingga kedua belah pihak dapat mencapai kesepakatan damai yang adil dan komprehensif.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi, ia memperingatkan Amerika akan “konsekuensi berbahaya” jika negara itu memutuskan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Ia juga mengatakan, pihaknya telah menegaskan hal tersebut kepada Menteri Luar Negeri Paman Sam, Rex Tillerson bahwa deklarasi pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel akan memicu kemarahan besar di dunia Arab dan dunia muslim (negara-negara muslim).

Sebelumnya, tepatnya pekan lalu, Raja Abdullah selaku Raja Yordania telah memperingatkan pemerintahan Trump tersebut tentang bahaya atas niatnya memindahkan Kedubes AS ke Yerusalem. Ia juga menerangkan bahwa langkah tersebut dapat menjadi “amunisi” bagi kelompok teroris di Timur Tengah dan menyebabkan runtuhnya inisiatif perdamaian yang tengah diupayakan.

Begitupun dengan Turki, negara itu juga bergabung dengan pihak yang menentang rencana Trump tersebut. Harian Hurriyet Daily News, pada Senin lalu melaporkan bahwa Wakil Perdana Menteri Turki, Bekir Bozdag menyebut pengakuan atas Yerusalem merupakan “bencana” bagi kawasan (Timur Tengah). Ia juga menuturkan bahwa jika Trump ngotot dengan keinginannya tersebut, maka pihaknya akan “sepenuhnya mengabaikan proses perdamaian” dan “membuka jalan bagi sebuah ketidaknyamanan baru (di sana)”. Menurut Wakil Perdana Menteri Turki tersebut, baik warga Israel dan Palestina tidak akan diuntungkan dengan kebijakan Trump itu. Dirinya berujar, “Jika langkah lain diambil atas Yerusalem yang statusnya dilindungi kesepakatan internasional, maka hasilnya akan menjadi bencana”. Bozdag juga berpendapat bahwa kesepakatan internasional dan resolusi PBB mewajibkan perlindungan terhadap status Yerusalem dan PBB memiliki komitmen terpisah untuk menjaga status itu. [MIS]

 

virol tools instagram