Sebelum runtuhnya rival hegemon, Amerika Serikat (AS) senantiasa mengumandangkan perang dengan nilai-nilai yang tidak seirama dan senada dengan peradabannya. Misalnya saja propaganda perang terhadap komunisme yang di sebagian masayarakat AS masih mengakar kuat kebencian mereka terhadap komunisme Uni Soviet. Hal tersebut didasari dari propaganda AS yang menyatakan bahwa Uni Soviet mengancam nilai-nilai mapan yang telah mereka bangun dan promosikan ke suluruh dunia, salah satunya ialah kebebasan.
Amerika mengontruksikan penduduknya supaya memiliki persepsi bahwa Uni Soviet sangat haus untuk menjadikan AS sebagai negara komunis yang akan mencabut nilai-nilai kebebasan yang meneurut mereka merupakan nilai-nilai universal. Penggambaran masyarakat AS seperti itu dapat ditemui dalam film Bridge of Spies (2015) yang dibintangi oleh Tom Hanks. Film itu diangkat dari kisah nyata mengenai kondisi panasnya Perang Dingin yang terjadi waktu itu. Di dalamnya dikisahkan bahwa saat itu ada seorang mata-mata Uni Soviet yang tertangkap oleh pihak keamanan AS. Ia adalah Rudolf Abel sang mata-mata Soviet. Film itu berseting akhir dekade 1950-an, di dalamnya dapat kita lihat bagaiman rakyat AS membenci Uni Soviet dengan mendarah daging. Hal tersebut jelas berkat propaganda yang dialncarkan oleh otoritas AS terhadap komunisme sehingga membuat komunisme seakan monster yang harus dibasim atau di taklukan.
Tesis Hutington
Paca runtuhnya Uni Soviet sebagai representasi dari komunisme, AS seakan kehilangan musuh abadinya. Hal ini juga membuat AS satu-satunya hegemon yang bertahan sehingga membuat AS sebagai hegemon tunggal di sistem internasional. Dalam periode ini AS mulai mengidentifikasi potensi-potensi ancaman baru yang bisa menumbangkan tatanan yang telah mereka bangun, maka munculah tesisi Samuel P. Hutington yang begitu termasyur itu, yakini Clash of Civilization atau benturan peradaban.
Dalam tesisinya tersebut, Hutington menjelaskan bahwa pasca ambruknya komunisme yang disimbolkan dengan runtuhnya Uni Soviet, peradaban Barat yang diwakili oleh AS dan Eropa kini menghadapi 7 peradaban lain, yakini Sino, Jepang, Amerika Latin, Afrika, Islam, Hindu, dan Ortodoks. Namun begitu, yang akan vis a vis dengan Barat ialah peradaban Islam. Tesis Hutington ini menemukan momentumnya saat peristiwa 9/11, di mana saat itu kelompok teroris (yang menurut AS adalah Al Qaeda) yang dipersepsikan sebagai representasi dari peradaban Islam telah melakukan serangan telak ke jantung ekonomi dan pertahanan AS, yakini New York dan Pentagon.
Di sinilah muncul narasi yang begitu kuat benturan peradaban antara Islam dan Barat. Atas kejadian itu, AS mengeluarkan kebijakan Global War on Terrorism atau Perang Global melawan Terorisme. Komunisme yang dulu merupakan musuh utama bagi AS seketika beralih kepada teroris yang kerap kali dicitrakan sebagai manifestasi dari ajaran Islam. Jadi perang yang dikuamdangkan AS yang pada awalnya perang terhadap terorisme global seakan bergeser menjadi perang terhadap ajaran-ajaran Islam yang dirasa mengganggu nafsu AS untuk menjadi hegemon tunggal.
Maka sejak saat itu pula (Tragedi 9/11) narasi tentang terorisme, baik itu di ranah akademik maupun publik bergeser menjadi melekat dengan citra Islam. Seakan-akan Islam merupakan agama yang memproduksi para teroris. Dalam diskusi-diskusi akademis maupun publik sering kalai geneologi terorisme diakitkan dengan paham Islam radikal, atau Islam yang memegang teguh ajaran-ajaran pada masa Nabi Muhammad Saw. Berangkat dari asumsi inilah baik para intelektual maupun politikus berkesimpulan bahwa radikalisme Islam merupakan akar dari segala macam bentuk terorisme yang terjadi saat ini (mereka menyebutnya terorisme model baru). Padahal kalau kita jeli klaim ini sama sekali tidak berdasar.
Faktanya, menurut data yang dirilis oleh FBI, di AS pada periode 1980-2005, 94% serangan terorisme yang terjadi di sana justru dilakukan oleh non-muslim, hal ini berarti serangan terorisme yang dilakukan di negara itu hanya 6% saja yang dilakukan oleh muslim. Masih menurut laporan yang sama, menyebutkan bahwa serangan terorisme yang dilakukan oleh Yahudi lebih banyak dibandingkan oleh muslim. Menurut data yang dirilis oleh Europol, yakini sebuah badan kepolisian yang dibawah naungan Uni Eropa menyebutkan bahwa di benua Eropa terdapat lebih dari seribu serngan terorisme dalam kurun waktu 2009-2013, apakah muslim yang melakukan hal tersebut? Menurut data yang dirilis oleh Europol, hanya 2% saja serangan yang terjadi di Eropa dalam kurun waktu tersebut bermotif keagamaan. Di tahun 2011 saja terdapat sebanyak 174 serangan terorisme yang terjadi di Eropa, namun tidak satupun dari sernagan teroris tersebut yang terafiliasi atau terinspirasi dari organisasi terorisme. Lalu di tahun 2012, terdapat 219 serangan terorisme di benua Biru tersebut, namun hanya 6 saja dari total serangan tersebut yang dilandasi motif keagamaan. Di Eropa, pada tahun 2013 terdapat 152 serangan terorisme, dan hanya 2 saja yang merupakan serangan bermotif keagamaan. Kemudian di tahun 2010, masih di Eropa, terdapat 249 serngan terorisme dan hanya 3 saja yang menurut Europol merupakan serangan yang dilandasi motif Islam. Selanjut, di tahun 2009, ada sebanyak 294 serngan terorisme yang terjadi di Eropa, dan hanya satu saja yang berhubungan dengan Islam. Lalu mengapa radikalisme dalam Islam kerap kali dijadikan kambing hitam?
Maka dari sini jelas bahwa narasi atau propaganda yang kerap kali menyudutkan bahwa Islam adalah biang dari segala bentuk terorisme sangatlah tidak berdasar karena tidak dibuktikan dengan data-data empiris yang dapat dipertanggung jawabkan. Lalu pertanyaanya, sebenarnya perang AS melawan terorisme itu sesungguhnya perang melawan apa, Islam kah? karena jika dilihat dari pola dan cara gerak yang selama ini mereka lakukan seakan-akan mereka berperang melawan Islam bukan terorisme itu sendiri.
Lebih parah lagi ternayata banyak negara-negara Islam yang latah yang justru mengikuti agenda AS tersebut. Negara-negara Islam yang tidak mempunyai prinsip ini tudnuk kepada AS supaya mereka ikut memerangi terorisme, yakini Islam. Bagi negera-negera itu, termasuk Indonesia, paham-paham Islam yang mengakar kuat di dalam diri masyarakat (radikal) haruslah di basmi atau dilenyapkan. Maka tidak heran berangkat dari asumsi ini munculah program deradikalisasi supaya masyarakat atau suatu kelompok tidak berpaham Islam radikal. Jika Islam radikal yang dimaksud ialah hak untuk membunuh warga sipil yang tidak bersalah dan berdosa atau menggunakan aksi-aksi teror di tengah-tengah masayarakat, tentu saja hal ini dilarang dan tidak dibenarkan oleh Islam itu sendiri. Namun jika radikal yang dimaksud ialah mengemban dan memegang tegu prinsip-prin Islam yang diajarkan Al Quran dan As Sunnah, maka jelas perang terhadap radikalisme harus ditolak karena jelas hal ini merupakan perang terhadap prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Islam adalah agama yang begitu sempurna tidak mungkin agama ini menebarkan teror bagi dunia. Justu sebaliknya, Islam merupakan agama penabur rahmat bagi semesta alam. [MIS]