Kondisi perang di negara paling miskin di Semenanjung Arab, Yaman semakin runyam sejak terbunuhnya Ali Abdullah Saleh, selaku mantan presiden negara itu pada Senin, 4 Desember 2017. Dikutip dari BBC (4/12), Saleh dikabarkan meninggal oleh General People’s Congress party, yakini partai tempat ia bernaung. Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari kelompok Houthi yang mengklaim bahwa mereka telah membunuh mantan sekutu mereka, yakini Ali Abdullah Saleh.
Pertarungan antara Houthi dan loyalis Saleh pecah di Sanaa pada pekan lalu setelah berbulan-bulan meningkatnya ketegangan dan tuduhan dari Houthi bahwa mantan presiden tersebut berusaha untuk beralih blok ke Saudi dalam perang sipil di sana. Sebelumnya perlu diketahui bahwa Houthi dan Partai Kongres Rakyat Umum (General People’s Congress/GPC) dulunya bersekutu melawan Presiden Abdrabbuh Mansour Hadi yang sekarang melarikan diri ke Saudi.
Di dalam sebuah pidato panjang yang disiarkan di televisi milik Houthi, pejabat tinggi kelompok tersebut, Abdul-Malek al-Houthi mengatakan bahwa kematian Saleh adalah akibat dari pengkhianatan yang ia lakukan. Juru bicara kelompok ini, Abdel-Rahman al Ahnomi juga mengkonfirmasikan bahwa video yang menunjukan sesosok mayat yang mirip mantan presiden Yaman adalah benar Saleh. Dalam cuplikan video tersebut, mengingatkan kita pada kematian pemimpin tiran Libya, Muammar Gaddafi. Gaddafi terbunuh di tangan bangsanya sendiri pada tahun 2011. Tubuh mantan presiden Yaman yang teleh memimpin negara tersebut selama 33 tahun tersebut diangkat dengan menggunakan selimut untuk diangkat ke dalam sebuah mobil bak terbuka.
Diketahui bahwa bentrokan di kota tersebut dalam beberapa hari terakhir setidaknya telah menewaskan 125 jiwa dan melukai lebih dari 200 orang. Padahal sebenarnya pada senin malam pertempuran tersebut tampaknya mereda, namun dengan kematian Saleh sepertinya akan membuka sebuah babak baru dalam konflik berdarah di sana.
Dikutip dari The Independent (5/12), Adam Baron, seorang mantan penduduk Sanaa, Yaman mengatakan kepada Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa bahwa “Yaman saat ini bukan Yaman kemarin,” kemudian ia melanjutkan “Yang jelas adalah bahwa permainan telah berubah. Satu hal yang tampaknya pasti adalah konflik dan penderitaan bagi orang-orang Yaman.Beberapa hari sebelumnya pada hari Sabtu, Saleh mengatakan bahwa dia ingin “membalik halaman” dalam hubungan dengan koalisi pimpinan-Arab Saudi, yang menghasilkan harapan baru untuk kesepakatan damai setelah perang yang telah menemui jalan buntu selama hampir tiga tahun.
Merespon kematian mantan presiden Yaman tersebut, Presiden Hadi dan para sekutunya yang dipimpin oleh Arab Saudi menegaskan bahwa bahwa pemerintah yang diasingkan (Hadi) akan meluncurkan serangan baru untuk merebut kembali ibu kota, Senin(4/12). Inggris selaku pemasok utama persenjataan Saudi mengecam blokade di Suriah tapi tidak di Yaman. Diketahui bahwa Saudi telah memblokade pelabuhan di sana selama beberapa minggu sehingga menyebabkan pasokan bahan makanan dari NGO kemanusian tidak bisa masuk ke wilayah tersebut. Padahal sebagian besar penduduk di sana hanya mengandalkan bantuan internasional untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Meskipun beberapa hari yang lalu Saudi telah membuka blokade tersebut, namun tindakan pembukaan tersebut seakan tidak begitu niat, karena banyak lembaga kemanusiaan yang mengelukan bahwa pembukaan blokade tersebut terlesan setengah hati di lakukan oleh Saudi dan sekutunya.
Sejauh ini diketahui bahwa lebih dari 10.000 orang telah meninggal dalam konflik bersenjata yang terjadi di sana hingg saat ini. Sebagian besar kematian disebabkan oleh kekerasan, epidemi kolera terbesar di dunia, kelaparan dan penyakit lainnya. Badan-badan bantuan memperingatkan statistik angka sebenarnya kemungkinan besar jauh lebih tinggi.
Perang ini sungguh mencabik-cabi Yaman. Negara ini yang merupakan negara termiskin di Semenanjung Arab sebelum perang pecah telah mengalami kerusuhan sejak demonstrasi Musim Semi Arab 2011 yang menggulingkan Saleh pada 2011 lalu. Beleum ada titik terang untuk mendamaikan berbagai pihak yang bertikai di sana, Houthi sendirimenolak segala bentuk intervensi asing dalam konflik tersebut. Sama seperti yang terjadi di Suriah, konflik Yaman tidak akan ada titik terang karena Barat tidak bisa mengendalikan elemen-elemen di kedua negara yang tersebut. Berbeda dengan negara lain yang para pihak oposisi pemerintahanya dikendalikan oleh Barat, di Suriah dan Yaman sebagian besar oposisi menolak intervensi asing ke dalam negaranya sehingga akan sangat sulit Barat untuk mengendalikan negara-negara tersebut. Dan ujung dari hal tersebut dipastikan perang akan terus berlangsung sebelum pihak oposisi dibawah kaki tangan Barat menang, jika tidak jangan harap ada kedamian di sana.