Wajah IMF di mata para aktivis politik di negara-negara berkembang terlihat penuh dengan borok. Institusi yang merupakan satu dari tiga organisasi internasional Bretton Woods–selain Bank Dunia dan WTO–ini dianggap hanya merupakan alat penjajahan gaya baru oleh negara-negara maju terhadap negara-negara miskin atau berkembang. Anggapan semacam ini juga digunakan oleh para kaum realis yang melihat bahwa organisasi internasional seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia hanyalah alat politik bagi negara-negara maju demi kepentingan nasionalnya.
Justifikasi Nilai
Sebelumnya kita harus memahami terlebih dulu akar dari munculnya institusi keuangan global (IMF) ini, serta landasan apa yang digunakan sebagai justifikasi dari berdirinya organisasi tersebut. Pasca berakhirnya Perang Dunia I di tahun 1919, rivalitas ekonomi dan keuangan di antara negara-negara maju semakin menguat. Kerusakan standar emas menyebabkan kepanikan besar. Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis berusaha membangun stabilitas pertukaran berdasarkan Perjanjian Tripartit (Tripartit Agreement) tahun 1936, namun hal itu juga gagal selama periode Perang Dunia II.
Beberapa negara besar di dunia, sekali lagi mencoba untuk kembali ke standar emas. Jadi, di bawah standar emas, mereka (negara-negara itu) ingin memaksimalkan ekspor mereka dan meminimalkan impor. Untuk mencapai tujuan ini, beberapa negara terpaksa melakukan devaluasi mata uang. Jadi, selama periode ini, hampir terjadi kehancuran dan kerusakan di sebagian besar negara. Nilai tukar mulai berfluktuasi yang berdampak buruk terhadap perekonomian dunia pada umumnya.
Hal itu jugalah yang akhirnya memicu peristiwa paling mematikan, yakni Perang Dunia II. Menjelang akhir Perang Dunia II, kebutuhan mendesak dirasakan untuk pembentukan lembaga moneter. Inggris mengajukan rencana yang disebut ‘Rencana Keynes’ (Keynes Plan), sementara Amerika Serikat meneruskan rencana lain bernama ‘Rencana Putih’ (White Plan). Sebuah konferensi internasional yang dikenal sebagai Konferensi Moneter dan Keuangan PBB (Bretton Woods Monetary Conference) di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat diselenggarakan pada bulan Juli 1944. Konferensi tersebut dihadiri oleh perwakilan dari 44 negara.
Konferensi inilah yang membidani lahirnya Dana Moneter Internasional (IMF) yang terbentuk pada bulan Desember 1945 dengan tujuan mempromosikan stabilitas ekonomi internasional dengan mendorong pertumbuhan yang seimbang dari negara-negara anggota.
IMF mulai berfungsi secara efektif pada 1 Maret 1947. IMF didirikan dengan motto untuk meningkatkan likuiditas internasional dari negara-negara anggota untuk membuat neraca pembayaran menguntungkan. IMF didirikan untuk mengatasi semua pembatasan perdagangan dan hambatan dan lebih lanjut untuk mempromosikan perdagangan multilateral (perdagangan bebas). Dengan demikian, IMF adalah usaha yang paling disengaja untuk mengatur pelaksanaan urusan moneter internasional.
Tugas utama IMF pada dasarnya adalah bekerja untuk mendorong kerja sama moneter global, stabilitas keuangan yang aman, memfasilitasi perdagangan internasional, mempromosikan peningkatan lapangan kerja, serta pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan mengurangi kemiskinan di seluruh dunia. Dan dibawah slogan tersebutlah IMF menjastifikasikan keberadaannya. Keberadaan IMF dilandasi dari asumsi dari pandangan liberalisme yang menganggap bahwa pembentukan institusi internasional diperlukan karena dipercaya dapat menjaga perdamaian dan meningkatkan kerjasama antar negara di seluruh dunia.
IMF dimata Realis
Realisme merupakan salah satu paradigma dalam Ilmu Hubungan Internasional yang cenderung menaruh sikap curiga dan skeptis terhadap berbagai tindakan yang dilakukan oleh aktor lain (cenderung negara lain). Begitu juga dengan pembentukan IMF yang dianggap menjadi alat tunggangan negara-negara maju untuk meraih kepentingannya.
Hal tersebut dilihat dari begitu tidak demokratisnya pengambilan keputusan dalam organisasi tersebut. Pengambilan keputusan dalam IMF persis seperti dalam Bank Dunia, yakni menggunakan mekanisme “one dollar one vote”. Kuat lemahnya suara suatu negara ditentukan dari besar kecilnya jumlah saham dari negara tersebut dalam IMF. Misalnya saja Amerika Serikat (AS) yang memiliki persentase saham sebesar 16,52 persen dalam institusi keuangan internasional tersebut juga memiliki porsi besaran suara yang sama dengan jumlah sahamnya.
AS merupakan negara dengan jumlah porsi suara terbesar dalam organisasi tersebut, dikuti dengan Jepang (6,15%), Cina (6,09%), Jerman (5,32%), Prancis (4,03%), Inggris (4,03%), Rusia (2,59%), dan juga Arab Saudi (2,02%) yang merupakan sembilan besar negara dengan jumlah saham terbesar di IMF saat ini. Melihat mekanisme seperti itu, praktis membuat kita semakin beranggapan bahwa IMF diekandalikan oleh negara-negara maju (terutama Amerika Serikat) yang memiliki modal besar saja.
Hal ini semakin dikuatkan dengan syarat yang mengatur tentang lolosnya suatu keputusan dalam IMF haruslah disetujui oleh 85 persen dari keseluruhan suara dalam organisasi tersebut. Hal itu berarti tidak ada satu pun keputusan yang bisa lolos tanpa dukungan suara dari AS yang mempunyai porsi sebanyak 16,52 persen suara.
Temuan Para Sarjana Ekonomi Politik Internasional
Asumsi realis mendapatkan dukungan dari beberapa peneliti yang fokus mengkaji terkait lembaga moneter internasional tersebut. Misalnya saja seperti penelitian Axel Dreher (University of Goettingen, CESifo, dan IZA, Germany), Jan-Egbert Sturm (ETH Zurich, Switzerland dan CESifo, Germany), dan James Raymond Vreeland (Walsh School of Foreign Service, Georgetown University, USA) yang diterbitkan dalam Jurnal European Economic Review 53 (2009). Peneliti tersebut mengkaji hubungan antara keanggotaan sementara suata negara dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dengan keputusan IMF untuk memberikan bantuan ke negara-negara tersebut. Analisi tersebut menunjukan bahwa terdapat kecenderungan suatu negara untuk mendapatkan bantuan tanpa syarat atau syarat yang mudah dari IMF tatkala negara itu menjadi anggota tidak tetap dalam DK PBB.