Soner Cagaptay, seorang peneliti politik blasteran Turki Amerika yang merupakan director dari Turkish Research Program di Wahington Institut for Near East Policy menulis artikel yang cukup menohok berkenaan dengan Islam dan Islamisme di website washingtoninstitute.org. Judul tulisan itu adalah “Islam vs Islamist” dan “Are Muslim Islamist?”.
Dalam “Islam vs Islamist” Soner berujar bahwa Islamist tidak ada hubungannya dan tidak berasal dari kepercayaan Islam. Islamist adalah sekelompok orang yang mencari legitimasi dari ajaran Islam dan cenderung berorientasi kekerasan. Soner juga menyentil golongan Islamist yang anti-kristen, anti-yahudi, anti-kapitalisme karna kapitalisme berasal dari yahudi, dll. Selain itu Soner mengatakan bahwa golongan Islamist memanipulasi ayat qur’an untuk mencari pembenaran atas aktivitas politik mereka.
Tulisan lain dari Soner yang berjudul “Are Muslims Islamist?” kembali menegaskan bahwa Islamist merupakan kesesatan yang harus ditinggalkan. Tak tanggung-tanggung, ia menyebut islamism sebagai “ideologi ahistoris yang mencari legitimasi dari ajaran Islam dan berupaya untuk mendirikan iliberal world order”. Ia menyebutkan beberapa golongan islamist yakni ISIL, Al-Qaeda, Ikhwan, dan organisasi-organisasi sejenis yang menginginkan tegaknya Islam.
Pernyataan Soner sebenarnya bukan sesuatu yang asing. Diluar sana terdapat banyak Soner-Soner lain yang juga punya pandangan bahwa Islam harus dimodernisasi dan dipangkas sesuai dengan kebutuhan zaman. Serupa dengan Soner, merekapun mengkategorikan orang-orang yang menginginkan penegakan Islam sebagai orang kuno tak berpendidikan dan radikal.
Menurut penulis, dua artikel yang ditulis Soner itu mengandung beberapa kekeliruan mendasar. Pertama adalah Islam dan Islamis. Pemisahan antara Islam dan Islamist itu sendiri merupakan hal yang tidak pernah ada dalam agama Islam. Islamist hanyalah stempel barat terhadap golongan Islam yang tak menyetujui ide-ide mereka, sama saja dengan cap radikalis, ekstrimis, dan fundamentalis. Mereka berujar bahwa Islam yang benar adalah yang sesuai dengan nilai-nilai yang diusung barat, muslim yang berkemajuan adalah muslim yang terbaratkan. Dilihat dari sudut pandang Islam, tentu saja hal ini tidak tepat, karna secara definitif Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada Muhammad. Secara asasi, aqidah yang dianut kaum muslim akan mengahkan mereka pada kepatuhan atas nilai-nilai Allah, bukan nilai-nilai Barat. Jika seorang muslim menemukan terdapat nilai barat yang tidak sesuai dengan agamanya, tentu saja ia harus menegasikan nilai itu dan memilih nilai Islam. Jika muslim yang tak sepakat dengan nilai barat dicap dengan konotasi negatif, bukankah mereka telah berlaku intoleran dan mencederai kebebasan berpendapat yang mereka usung sendiri?
Kekeliruan kedua adalah ketika Soner menyatakan bahwa golongan Islamis memanipulasi ayat qur’an untuk membenarkan aktivitas politiknya. Soner berujar bahwa sifat radikal ini muncul akibat tafsiran qur’an yang keras dan anti terhadap kristen, yahudi, serta institusi barat. Ujaran demikian keluar tanpa terlebih dahulu menjelaskan konsepsi keilmuan Islam dan konsep interaksi sosial Islam secara utuh.
Soner dan orang-orang semisalnya berpandangan bahwa syariah jika dipahami sebagaimana mestinya akan menjadi penghalang bagi kemajuan. Syariah merupakan beban sejarah masa lalu yang harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Orang-orang semisal soner akan menolak argumen syariah jika nas syariah itu tidak sesuai dengan pemikiran kekinian seperti demokrasi dan pluralisme, kendati mereka beragama islam. Untuk membenarkan pernyatannya, dibuatlah argumen-argumen semisal:
“hukum Allah itu teks-teks yang bermakna luas dan tak bisa disempitkan oleh manusia”,
“hanya Allah lah yang mengetahui tafsiran al-Qur’an sesungguhnya”,
“ayat qur’an itu dari Allah. Namun tafsir qur’an itu buatan manusia”.
Pernyataan semacam diatas berimplikasi pada argumen mereka selanjutnya yaitu, Fiqh dan syariah merupakan produk manusia. Fiqh merupakan interpretasi ulama atas nas-nas syariah, jadi boleh diikuti, boleh tidak. Mulailah mereka ikut melakukan interpretasi nas syara atas nafsunya sendiri. Mereka keluar dari metodologi keilmuan Islam dan berusaha membuat syariah sesuai dengan pemikiran-pemikiran yang dianggap universal, padahal sejatinya pemikiran-pemikiran itu adalah produk entitas tertentu, tentu saja tidak universal dan netral.
Pemikiran semacam ini semisal dengan pandangan beberapa pemikir liberal Islam seperti Faraj Fawdah dan Muhammad Sa’id Ashmawi. Fawdah merupakan pemikir mesir yang selalu memberikan serangan kepada kelompok-kelompok yang ingin menegakkan islam dalam bentuk negara. Menurutnya mereka yang seperti itu sedang terjebak dalam romantika masa lalu yang sudah usang dan tak sesuai dengan perkembangan zaman. Fawdah juga berujar bahwa sejarah Islam tidak seperti yang diagung2kan. Sejarah Islam adalah sejarah yang berdarah yang penuh dengan noda. Jadi penerapan syariah tidak akan menyelesaikan masalah, buktinya zaman dulu tetap terjadi kekacauan dan pertumpahan darah, padahal syariah diterapkan.
Ashmawi menggolongkan umat Islam kedalam dua tipe, yaitu Political Islam dan Enlightened Islam (Islam yang tercerahkan). Kelompok-kelompok islam yang menuntut penerapan Islam digolongkan pada kelompok Political Islam. Ashmawi menyimpulkan bahwa penerapan syariah Islam hanya rekaan manusia semata, karena menurutnya tidak ada perkataan al-Quran yang berkonotasi hukum dan tuntutan kepada manusia untuk menerapkannya. Hanya ada satu ayar yang menyebut kata syariah yakni surat al-Jatsiyah ayat 18 (Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariah agama itu…) itupun tidak bermakna penerapan hukum menurut Ashmawi (Syafrin dalam Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam, DDII).
Ashmawi seolah menyatakan bahwa hukum fiqh semata-mata merupakan produk pemikiran, tidak ada hubungannya dengan nas-nas syara’. Jadi hukum fiqh yang dihasilkan dari ijtihad ulama merupakan produk hasil pemikiran ulama itu sendiri, oleh karena itu boleh diikuti boleh tidak. Pernyataan ini tidak sesuai dengan khazanah keilmuan Islam itu sendiri. Karena sebetulnya yang dilakukan para fuqoha hanyalah mengambil kesimpulan hukum berdasarkan batasan-batasan nas syara, bukan hasil produk akalnya sendiri (Syafrin dalam Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam, DDII).
Dalam khazanah keilmuan islam, sumber kebenaran mutlak adalah Al-quran, dan motivasi yang diusung dalam menafsirkan Al-qur’an adalah bagaimana orang yang hidup belakangan bisa memahami Islam sebagaimana pemahaman Rasulullah dan para sahabatnya, begitu pula dengan fiqh. Kita tidak bisa memproduksi hukum fiqh sendiri dengan melabas peraturan yang sudah dibakukan oleh syara’.
Kembali pada kasus Islam vs Islamist, sepatutnya kita sebagai muslim harus menanyakan apa motivasi utama dari Soner dan orang-orang yang sepemikiran dengannya untuk melakukan pemisahan istilah antara islam dan islamis. Jika Islamis, radikal, garis keras, dan istilah2 sejenis disematkan pada orang yang berkeinginan menerapkan syariah secara formal, dan istilah-istilah itu berkonotasi negatif, lalu Nabi Muhammad dan para sahabatnya mau kita golongkan sebagai Islam yang mana?.
Menurut penulis, pandangan semisal Soner mengenai Islam dan Islamis ini hanyalah sebuah manifestasi sifat “inlander” dalam beragama. Orang-orang yang memiliki pandangan semacam ini (kendati ia muslim) menjadikan Barat sebagai patokan kebenaran pemikiran, sehingga apapun yang tidak sesuai dengan asas pemikiran barat, meskipun itu berasal dari nas syara (yang sudah kita sepakati berasal dari tuhan) maka dianggap tidak benar.