Umat Islam dimasa modern semakin banyak yang gamang dengan agamanya sendiri. Mereka bingung bagaimana harus bersikap, satu sisi mereka sebagai manusia beragama harus menjalankan agamanya dengan baik dan benar, satu sisi menjalankan agama dengan mendasar dan menyeluruh saat ini dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Bahkan kini terdapat segolongan umat yang enggan berbicara penerapan islam secara menyeluruh untuk menghindari stempel radikalis dan fundamentalis.
Kegamangan ini -dilihat dari sekup individu- mengakibatkan hilangnya kepercayaan diri seorang muslim untuk berpegang teguh kepada agamanya. Hal ini terjadi karena seolah-olah terjadi benturan antara keyakinan berislam dengan modernitas. Sebagai contoh, didalam Islam terdapat konsep yang menyatakan bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang benar dan akan membawa kebahagiaan di akherat. Hal ini bertentangan dengan konsep kekinian yang menjunjung faham pluralisme beragama, dimana seluruh agama sama derajatnya dan klaim kebenaran mutlak terhadap agama yang dianut tak diperkenankan. Jadilah individu itu bingung menentukan sikap, apakah dia akan berpegang teguh pada Islam -yang mengklaim sebagai satu-satunya agama kebenaran- dengan konsekuensi bertentangan dengan mainstream. Atau dia mengikuti pluralisme yang mainstream, dengan konsekuensi bertentangan dengan Islam itu sendiri.
Dilihat dari sekup kolektif, hal ini akan mengakibatkan kerancuan dalam klasifikasi apakah sekumpulan manusia ini termasuk masyarakat Islami atau bukan. Masyarakat yang berpenduduk mayoritas muslim dan masih menghargai nilai-nilai keislaman tentu saja tidak berkenan jika mereka disebut sebagai masyarakat yang tidak islami, akan tetapi pada faktanya masyarakat ini menghindari penerapan Islam di seluruh tataran kehidupan. Kerancuan klasifikasi ini akhirnya menimbulkan perdebatan selanjutnya “apakah kita masih membutuhkan transformasi menuju masyarakat Islami atau tidak?”.
Jika kita cermati, terdapat beberapa pilihan solusi yang dimungkinkan untuk menghindari kegamangan ini. Oleh karena Islam dianggap berbenturan dengan konsep-konsep kekinian, maka solusi pertama yang dimungkinkan adalah meninggalkan Islam seutuhnya dan berjalan diatas sekulerisme secara kaffah. Pilihan ini akan menempatkan Islam sebagai agama yang terkurung didalam masjid tanpa dibolehkan bersentuhan dengan perilaku individu maupun pengaturan kenegaraan, kemudian setiap individu akan mengambil nilai-nilai mainstream -yang diproduksi Barat- untuk bersikap. Pilihan ini ditolak oleh sebagian besar umat Islam karena akan menimbulkn kerancuan lebih besar dalam beragama. Setiap muslim pada hakikatnya sadar bahwa Islam memiliki konsep pengaturan kehidupan yang kompleks dari mulai tatacara individu berperilaku hingga tatacara pengaturan kenegaraan.
Pilihan kedua untuk mengatasi kegamangan adalah menerapkan Islam secara menyeluruh termasuk dalam bidang hukum pidana dan sistem ekonomi, sosial, dan pendidikan. Hal ini akan menyebabkan pergantian sistem secara menyeluruh menjadi sistem yang bisa mengakomodir syariat secara fundamental, yakni sistem khilafah. Pilihan ini pun ditolak oleh sebagian umat Islam karena dianggap berbenturan dengan realitas. Mainstream sistem politik sekarang adalah demokrasi dan mainstream sistem ekonomi adalah kapitalisme. Tentunya jika pilihan jatuh pada khilafah, maka demokrasi dan kapitalisme akan di negasikan secara utuh dan pokok pikiran dasar demokrasi tentunya tidak lagi digunakan. Padahal realitas hari ini seolah menyatakan bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik yang adil dan manusiawi. Realitas ini pula yang kini dianut oleh sebagian besar manusia termasuk kaum muslim itu sendiri.
Pilihan ketiga adalah mengompromikan islam dengan nilai kekinian. Cara ini dilakukan dengan menyetarakan konten-konten pemikiran kekinian dengan nilai islam yang dianggap mirip. Contohnya demokrasi dengan musyawarah, toleransi islam dengan pluralisme. Para cendekiawan muslim telah berusaha membuat islam bisa masuk dalam nilai-nilai kekinian seperti demokrasi dan pluralisme. Tak jarang kita mendengar kalimat semacam, “dalam Islam juga ada demokrasi”, “demokrasi adalah sistem yang paling islami”, “islam mengajarkan pluralisme”, dll.
Pilihan ketiga dianggap paling memungkinkan dan kini menjadi pilihan sebagian besar umat Islam karena pilihan ini dianggap dapat memberikan jalan keluar terbaik. Kita tetap bisa berislam tanpa bertentangan dengan realitas, begitulah kira-kira. Akan tetapi jika kita cermati sikap kompromi ini justru akan menimbulkan kegamangan. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai yang kini menjadi mainstream dan dianut oleh umat manusia secara global tentu saja tidak netral. Nilai-nilai ini tentu dibentuk secara sistematis oleh entitas yang menjadi penguasa peradaban sehingga menjadi doktrin umum yang dianggap alami. Nilai kemanusiaan misalnya, diproklamirkan oleh entitas Barat, tentu akan punya pola sikap dan dasar pikiran sebagaimana peradaban, budaya, dan keadilan ala barat. Jika nilai-nilai Islam dipaksakan masuk, maka akan menyebabkan pemangkasan sana sini. Hukum Islam semacam potong tangan bagi pencuri, hukum mati bagi pezina yang sudah menikah, dan qishash tentu tak akan bisa diterapkan karena bertentangan dengan nilai kemanusiaan kekinian.
Contoh lain di tataran praktis yang kita rasakan saat ini adalah dalam sistem ekonomi. Saat ini sedang marak seruan kepada umat Islam untuk kembali ber ekonomoni dengan ajaran Islam. Pada hakikatnya, berekonomi berdasarkan Islam tentusaja bertentangan secara diametral dengan ekonomi sekarang yang didasari kapitalisme. Bunga bank misalnya, dalam ekonomi mainstream isntrumen ini menjadi alat pemicu detak jantung ekonomi, sehingga perekonomian dapat bergerak. Dalam Islam, bunga bank termasuk kedalam riba yang merupakan salah satu dosa besar. Padangan fundamental ekonominya pun sudah berbeda, dari konsep harta hingga sistem kepemilikan. Sehingga menjadi suatu hal yang mustahil untuk menerapkan ekonomi Islam secara utuh jika sistem ekonomi yang sekarang masik dipertahankan.
Menurut penulis setidaknya terdapat 2 penyebab kegamangan ini muncul:
1. aqidah yang tak menjadi ideologi.
2. standar kebenaran yang digunakan.
Dilihat dari sisi kemampuannya sebagai ideologi, Islam memiliki pemikiran (thought) dan metode (method). Pemikiran ini berupa Aqidah islam, yaitu keimanan kepada Allah, malaikat, rasul, kitab suci, hari kiamat, dan qadha qadhar. Pemikiran Islam juga mencakup ajaran yang mengandung pemecahan masalah kehidupan manusia baik yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Allah seperti ibadah, hubungan manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri seperti makanan, minuman, dan pakaian, maupun yang berkenaan dengan hubungan sesama manusia seperti ekonomi, politik, sosial, dsb. Selain pemikiran thought, Islam juga memiliki method untuk menerapkan konsep-konsepnya, metoda ini mencakup:
(1) metode penerapan aqidah dan hukum syara secara menyeluruh,
(2) metode mempertahankan penerapan aqidah dan hukum syara’,
(3) metode menyebarkan aqidah dan hukum syara’.metode penerapan aqidah dan syariah secara menyeluruh dilakukan dengan menegakan institusi negara pelaksana syariah yakni khilafah.
metode mempertahankan penerapan aqidah dan hukum syara dilakukan dengan menerapkan sangsi (‘uqubat) kepada siapapun yang melanggar aqidah dan hukum syara’, sangsi ini diterapkan oleh negara khilafah. Metode menyebarkan Aqidah dan hukum syara’ dilakukan dengan dakwah dan jihad kepada wilayah-wilayah diluar Khilafah.
Secara historis, pemikiran dan metode ini pernah benar-benar diterapkan dalam sebuah institusi kenegaraan yang formal. Tak hanya konsep-konsep filsafat yang utopis. Bukti-bukti sejarah telah banyak menunjukkan bahwasanya konsep ideologi Islam memang benar-benar dapat diterapkan untuk mengatur kehidupan manusia secara praktis. Kita pun dapat membaca karya-karya klasik para ilmuan Islam di abad khilafah lampau yang menjelaskan mengenai konsep tata pengaturan kehidupan seperti kitab Kharaj (pajak) dari Abu Yusuf, Al-Amwal (harta) dari Abu Ubaid, Ahkam Shulthaniyah (hukum pemerintahan) dari Imam Mawardi, dan banyak karya-karya lainnya.
Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-shalabi dalam karyanya yang berjudul “bangkit dan runtuhnya Khilafah Utsmaniyah” memberikan rentetan peristiwa sejarah dari masa kejayaan utsmani hingga keruntuhannya. Ash-shalabi memberikan fakta-fakta sejarah yang membuktikan bahwasanya meredupnya Khilafah Utsmanyah disebabkan karena makin jauhnya umat dari pemikiran Islam. Makna ibadah disempitkan hingga Islam seolah tak ubahnya agama lain yang hanya mengatur tentan tata cara mendekatkan diri pada tuhan. Aktivitas politik yang meliputi pengawasan terhadap aktivitas penguasa dan pengaturan kehidupan praktis dalam bernegara seolah dipisahkan dari syariah. Puncaknya adalah runtuhnya institusi Khilafah Islamiyah dan hingga kini tak ada lagi institusi yang menerapkan ideologi Islam secara utuh. Hal ini menyebabkan pemahaman akan Ideologi Islam semakin jauh dari tubuh umat islam.
Penyebab kegamangan selanjutnya adalah standar benar-salah yang digunakan dalam kehidupan. Ketika batasan benar-salah seseorang tidak jelas, maka orang tersebut tidak bisa mengambil sikap terhadap sebuah fakta perbuatan. Sebagai seorang muslim yang mengimani Allah sebagai tuhan dan Muhammad sebagai nabi tentunya harus menjadikan syariat sebagai standar benar-salah.
Jika syariah digunakan sebagai standar benar-salah, maka segala pemikiran kekinian akan dihukumi sebagaimana pandangan syariah. Seorang muslim tak lagi gamang menyikapi pandangan mainstream yang bertentangan dengan syariah. Dia akan mengambil sikap tegas untuk tidak larut pada mainstram, karena ia sudah memiliki pegangan yang pasti dalam bersikap. Rasa percaya diri untuk berpegang teguh pada syariah akan didapatkan apabila seorang muslim menyadari betapa hebat dan mulianya pemikiran Islam, kesadaran ini akan didapatkan apabila ia mulai mengkaji dan memperdalam pemahaman keIslaman.