Pada hari Selasa, 21 November 2017, Amerika Serikat (AS) mengklaim bahwa militernya telah melakukan serangan udara menggunakan pesawat tanpa awak (drone) di wilayah terotori Somalia. Dikutip dari CNN (21/11/2017), dalam serangan tersebut, militer Amerika mengklaim bahwa pihaknya berhasil menewasakan 100 militan al Shabaab–sebuah kelompok teroris di benua Afrika.
Operasi serangan udara tersebut dilakukan pada jarak sekitar 200 kilometer dari kawasan barat laut Ibu Kota Somalia, Mogadish. Dalam beberapa bulan terakhir ini, AS memang berulang kali menyerang para militan Somalia dari kelompok pemberontak al-Shabaab yang diklaim bersekutu dengan kelompok Al Qaeda. Dikutip dari Detik.com (22/11/2017), Pada 13 November lalu, militer AS juga mengumumkan bahwa pasukannya telah menewaskan 40 militan kelompok al Shabaab dan ISIS dalam sebuah serangkaian serangan yang terjadi selama beberapa hari.
Peningkatan intensitas operasi serangan udara militer Amerika mulai terjadi pada bulan Maret lalu, sejak Presiden Donald Trump melonggarkan aturan militer untuk menindak teroris tanpa mesti menunggu persetujuan dari Gedung Putih ketika dirasakan perlu. Hal tersebut berarti bahwa pihak militer bisa dengan leluasa dan cepat dalam meluncurkan serangan drone mereka kepada kelompok teroris di sana.
Oprasi tersebut semakin menguat ketika terjadi serangan bom truk di Somalia pada bulan Oktober lalu. Dalam serangan bom tersebut, ratusan warga sipil Somalia terbunuh. Serangan tersebut menurut AS dan para sekutunya–termasuk otoritas Somalia, dilakukan oleh kelompok milisi al Shabaab. Maka meningkatnya intensitas oprasi serangan udara terhadap kelompok milisi tersebut merupakan respon AS atas banyaknya peristiwa ledakan bom di negara itu.
Dalam peristiwa tersebut, nampaknya terdapat sebuah kejanggalan, yaitu tatkala diketahui bahwa kelompok al Shabaab menyatakan jika pihaknya menolak kalim dari AS yang mengatakan oprasi serangan udaranya telah menewasakan para anggota kelompok milisi tersebut. Menurut CNBC (22/11/2017) yang dikutip dari kantor berita bahwa “Hal tersebut hanyalah sebuah propagand”. Hal ini tentu bertolak belakang dari klaim yang dilayangkan oleh AS.
Lalu siapakah yang dimaksud 100 militan oleh AS tersbut? Apakah benar-benar para militan al Shabaab ataukah justru warga sipil? Pertanyaan ini muncul sangatlah beralasan, mengingat AS selama ini dalam mengoprasikan drone-nya di wilayah terotori negara lain kerap kali menyasar warga sipil. Padahal menurut SOP penyerangan, sang oprator drone tidak akan menyerang jika tidak dipastikan secara benar-benar bahwa targetnya itu benar merupakan kelompok teroris. Jika pun benar teroris, sang oprator harus memastikan terlebih dahulu bahwa jika hellfire dari drone diluncurkan tidak menimbulakan kematian bagi warga sipil di dekat radius serangan drone. Namun hal itu semua hanyalah imajinasi mengingat bahwa dalam realitasnya berbagai serangan drone yang dilancarkan oleh AS kerap kali menimbulkan korban jiwa warga sipil (civilian casualities).
Maka apakah dalam peristiwa di Somalia tersebut, AS benar-benar membunuh kelompok teroris atau malah justru warga sipil lagi seperti biasanya. Sampai saat ini, belum ada verifikasi dari media lokal Somalia ke tempat kejadian serangan, jadi belum bisa dipastikan apakah al Shabaab (Jubir) berbohong atau malah otoritas AS yang melakukan kebohongan, dalam hal ini militernya. Kita hanya bisa menunggu sampai benar-benar pasti terkait korban dari serangan tersebut. Mungkin membutuhkan waktu beberapa hari atau bahkan bulan untuk bisa mengetahui kebenaran dari peristiwa ini. Jika warga sipil lagi yang menjadi korban dalam serangan tersebut, maka sungguh AS sudah sangat biadab dalam menjalankan kebijakan luar negerinya selama ini.
[Muhammad Iskandar Syah]