Angola, Menghambat Perkembangan Islam

Posted on

 

Angola merupakan salah satu negara yang terletak di benua Afrika. Negara ini dahulu pernah menjadi bagian wilayah kekuasaan Portugis atau pernah dijajah oleh negara itu.

Tools Broadcast WhatsApp

Angola tak hanya mengadaptasi bahasa, tapi juga agama yang dibawa oleh salah satu negeri penjajah itu. Adebayo Oyebade dalam bukunya “Culture and Customs of Angola menulis”, menyatakan bahwa sejak kedatangan Portugis pada abad ke-15, Kristen merupakan agama yang yang dianut mayoritas warga Angola.

Pengaruh Islam justru berasal dari wilayah pantai timur Afrika. Namun begitu, Islam di sana perannya belum begitu signifikan.

Muslim Angola hanya satu hingga dua setengah persen dari total populasi negara itu. Dalam kurun beberapa tahun terakhir, komunitas Muslim di Angola tumbuh perlahan.

Di beberapa kota besar negara itu, Islam dan Muslim semakin jamak ditemukan. Masjid dan sekolah pendidikan Alquran juga mualai banyak dibangun. Muslim di Angola kebanyakan adalah memang pendatang.

Masih sedikit keturunan asli Angola sendiri yang memeluk Islam. Selain menjadi Muslim karena pernikahan, warga asli Angola yang menjadi Muslim biasanya tak lepas dari kegiatan dakwah Asosiasi Pengembangan Islam Angola (AIDA), sebuah lembaga dakwah Islam di negara itu.

Hal-hal yang berkaitan dengan umat Islam diatur Dewan Tinggi Muslim Angola yang berbasis di Luanda. Otoritas Angola memberikan hak bagi berbagai agama untuk tumbuh di sana, begitupun dengan agama Islam. Meskipun begitu, pada kenyataannya ada sejumlah aturan pemerintah yang menyulitkan perkembangan Islam di Angola.

Isu ini sempat memicu reaksi internasional pada akhir 2013 lalu karena Angola dianggap menghalangi kebebasan beragama. Angola bahkan dicap negara pertama yang melarang agama Islam. Organisasi non-pemerintah, Maka Angola, di laman resminya memuat sebuah hasil investigasi tentang pelarangan aktivitas ibadah umat Islam “Why Islam is Illegal in Angola” yang ditulis oleh Rafael Marques de Morais. Islam pertama kali dikenal di Angola pada 1978.

Dalam tulisannya tersebut, Morais menjelaskan, suatu agama atau suatu sekte agama harus diakui pemerintah dan terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Akan tetapi, terdapat salah satu persyaratannya belum bisa dicapai umat Islam. Persayaratan tersebut yakni, jumlah penganut minimal harus 100 ribu orang dewasa. Sementara itu, jumlah umat Islam di Angola hanya baru sekitar 50 ribu orang saja.

Tanpa izin tersebut, maka rumah ibadah, termasuk masjid, dilarang beroperasi di wilayah kedaulatan Angola. Jamaahnya tidak akan ditahan, tapi imam atau pemimpin jamaah dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran hukum negara. Pelanggran tersebut terhitung sebagai aksi kriminal.

Kondisi seperti itu jelas membingungkan Muslim negeri yang dikenal sebagai pengekspor berlian dan minyak itu. Di satu sisi, pemerintah melarang kegiatan agama secara terbuka jika agama itu belum diakui negara. Namun di sisi lain, pertambahan jumlah penganut Islam akan sulit dicapai jika pusat kegiatannya, masjid, tidak terlihat ada.

Dari data yang dikumpulkan Maka Angola, ada 13 masjid yang harus dibongkar paksa, meski beberapa di antaranya sudah mendapat izin otoritas lokal di sana. Di negara itu, ada sekitar sembilan belas organisasi Muslim dengan beragam latar belakang etnis yang memang mayoritas pendatang.

Mereka tergabung dalam Dewan Tinggi Muslim Angola. Isu pendatang ini juga dipersoalkan karena dikhawatirkan akan mengganggu tatanan sosial dan budaya masayarakat Angola. Padahal, pendatang yang masuk secara ilegal ke Angola pun tidak bisa meninggalkan prosesi suap petugas negara yang berada di perbatasan.

Para pelintas batas tanpa izin ini harus menyisipkan uang sebesar 2.000 hingga 10 ribu kwanza atau 20 hingga 100 dolar AS kepada para petugas.

Muslim pendatang, baik dari Afrika maupun negara lainnya, seperti Lebanon, juga umumnya adalah pekerja legal. Meski bukan tenaga ahli, namun mereka bekerja sebagai pedagang ataupun pekerja perusahaan swasta.

Dalam sebuah artikel yang dimuat pada laman onislam.net, Abdelrahman Rashdan mengungkapkan, ada syarat lain selain memiliki minimal 100 ribu penganut jika Islam ingin diakui sebagai agama resmi oleh negara. Yakni umat Islam juga juga harus “diakui dan tersebar di 12 dari 18 provinsi” di Angola.

Dari laporan Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2008, Muslim di Angola berjumlah sebanyak antara 80 ribu hingga 90 ribu jiwa. Mengutip Angola International Religious Freedom Report dari Kementerian Luar Negeri AS pada 2011 dan 2012, komunitas Muslim, termasuk satu dari ratusan sekte agama yang sedang berjuang mendapatkan pengakuan negara itu.

Komunitas Muslim Angola bukan tak berupaya mengajukan izin. Mereka sudah melakukannya pada 2004 dan 2006, namun ditolak. Berdasarkan laporan yang sama pula, ruang shalat sementara dan masjid milik umat Islam Angola juga berulang kali digusur atau dibongkar paksa, termasuk oleh petugas National Criminal Investigation Police (DNIC).

Perwakilan Muslim Angola mencoba mengklarifikasi melalui surat yang sayangnya ternyata tak pernah dibalas. Pemerintah Angola berdalih, tindakan itu bukan hanya diberlakukan terhadap Muslim, melainkan juga kepada penganut agama lain dengan status yang sama.

PBB dan organisasi kerja sama negara Islam OIC didesak untuk turun tangan berkaitan dengan apa yang dialami oleh komunitas Muslim di sana. Ketidakjelasan masih menempel bersama nama komunitas Muslim di Angola saat ini. Perlu juga peran serta dari organisasi non-pemerintah internasional suapay mendesak pemerintah Angola untuk bisa mengakomodir kepentingan Muslim yang semakin hari menunjukan tren peningkatan jumlah di negara itu. Begitu pula dengan Indonesia, pemerintah dan organisasi Islam di negeri ini juga harus turut serta membantu memperjuangkan pengakuakn Islam di negara itu.

[Republika]

virol tools instagram