Jerman adalah satu dari sekian negara di Eropa yang memiliki penduduk Islam di negaranya. Umat Islam di negara itu meskipun jumlahnya sedikit, namun setiap tahunnya terus mengalami tren kenaikan.Menjadi seorang Muslim minoritas di negara Eropa seperti Jerman memang penuh tantangan. Persoalan tak hanya terkait dengan ibadah, tapi juga hubungan dengan masyarakat mayoritas yang tentu saja berbeda dengan umat Islam.
Hal tersebut dirasakan oleh Abdoul (30 tahun), seorang juru masak di sebuah restoran Italia, Vapiano. Disadur dari Republika (31/07), pria yang berasal dari Senegal itu mengutarakan keluh-kesahnya kepada Tim Republika. Ia berujar bahwa, “Hidup di sini berat, orang tidak paham tentang Islam,” katanya di sela-sela memasak hidangan pasta yang dipesan oleh pengunjung. Tak berbeda dengan Ahdoul, teman-temannya yang sama-sama berasal dari Afrika juga merasakan hal yang sama, tentu saja teman-temannya yang beragam Islam.
Abdoul mengaku bahwa ia merupakan seorang Muslim yang taat. Setiap hari ia selalu menyempatkan diri untuk shalat lima waktu. Apalagi tak jauh dari tempatnya bekerja tinggal terdapat sebuah masjid.
Meskipun begitu, sangat sulit baginya untuk menerapkan shalat lima waktu. Apalagi atasannya tidak pernah mengizinkannya istirahat saat jam kerja untuk beribadah. Ia hanya bisa shalat di luar jam kerjanya. setiap kali datang bulan Ramadhan, Abdoul mengaku sengaja tidak bekerja selama sebulan penuh agar bisa melaksanakan ibadah puasa dengan baik.
Hal tersebut juga dilakukannya agar pekerjaannya tidak terganggu akibat dirinya berpuasa. Abdoul mengaku sudah tidak betah lagi dengan pekerjaanya tersebut. Menurutnya, pekerjaan yang dilakukannya sekarang membuatnya merasa seperti laiaknya mesin.
Ia berujar, “Saya tidak bisa istirahat di sini. Anda lihat sendiri kan?” ujarnya sambil menunjuk antrean mengular yang harus kami lalui siang itu. Walaupun ia baru bekerja di restoran itu selama tiga bulan, Abdoul mengaku akan mengundurkan diri pada akhir bulan Juli ini. “Ini bulan terakhir saya bekerja di sini,” tuturnya kepada Republika.
Ditanya akan bekerja di mana setelah ini, Abdoul mengaku belum memikirkannya. “Pekerjaan banyak. Mudah jika Anda (penduduk) legal di Jerman,” katanya juga kepada Republika. Abdoul berimigrasi dari Senegal lima tahun yang lalu.
Ia mendapatkan status sebagai penduduk permanen baru tiga tahun yang lalu, setelah menghabiskan dua tahun pertamanya untuk belajar bahasa Jerman. Ia kemudian juga menikah dengan penduduk asli Jerman yang juga merupakan seorang Muslim. Menurutnya, berpindah tinggal di Jerman bukan berarti harus mengikuti kebiasaan orang-orang Jerman. Ia bangga sebagai orang Senegal dan berharap suatu hari nanti bisa kembali ke tanah leluhurnya itu.
Tak hanya dialami oleh Abdoul, Levent Yukcu juga merasakan hal yang sama, yakni merasakan hidup yang berat sebagai seoarang muslim di negara Jerman. Ia merupakan seorang pengurus di Masjid Sehitlik di Berlin. Selain pemahaman masyarakat Jerman secara umum yang masih kurang, masalah lain yang ditemui adalah persoalan makanan halal yang begitu sulit untuk didapatkan. Hal tersebut ia ungkapkan kepada Republika, “Di Jerman hampir tidak ada restoran yang menyediakan makanan yang berlabel halal,”. Oleh sebab itu, kebanyakan Muslim lebih memilih memasak sendiri hidangan yang ingin dikonsumsinya.
Bagi perempuan Muslim, tantangannya bahkan akan lebih berat lagi. Levent mencontohkan, tidak ada masjid yang menyediakan tempat ibadah khusus bagi perempuan Muslim.
Selain itu juga, masih terdapat diskriminasi bagi perempuan berjilbab di Jerman. Levent mengungkapkan, “Jika memakai jilbab, perempuan tidak boleh menjadi guru,” terangnya. Sementara itu, seorang mahasiswa yang berasal dari Indonesia yang sedang menempuh kuliah di Jerman, Muhammad Ihsan Karimi (28 tahun), mengungkapkan bahwa kendala yang mesti dihadapi Muslim seperti dirinya tiap menjalani ibadah di bulan Ramadhan.
Mahasiswa Master of Mechanical Engineering di TU Berlin itu mengatakan bahwa akan sulit bagi Muslim untuk menjalankan shalat Tarawih di masjid saat malam hari.
Apalagi waktu Isya di Berlin bisa di atas pukul 23.00. “Karena ada aturan yang tidak memperbolehkan ribut saat malam hari,” kata ketua pengurus Masjid Al Falah, Berlin, tersebut. Oleh karenanya, untuk menyikapi hal tersebut, akhirnya para Muslim, khususnya jamaah Masjid Al Falah, memilih untuk menggabungkan waktu Isya dengan waktu Maghrib.