Kenapa Jadi “Agent of Change” Lebih Sulit daripada Jadi Shalih? Menjadi shalih itu indah, semoga Allah karuniakan kekuatan bagi kita untuk menjadi pribadi yang shalih itu. Tapi tahukah teman-teman? Bahwa ada level yang lebih tinggi dari shalih, yaitu mushlih, atau yang masyhur disebut dengan “Agent of Change.”
Jika orang shalih adalah orang yang baik pribadinya, baik perilakunya; maka orang mushlih adalah “the next level of shalih”, yaitu yang berusaha untuk menshalihkan orang lain, memperbaiki masyarakatnya, mengkader keshalihan dalam jiwa manusia sekitarnya. Dan itu ternyata lebih sulit.
Kenapa lebih sulit? Dalam timeline sejarah Islam, orang-orang suka dengan pribadi yang shalih, namun cenderung tidak siap dengan pribadi yang mushlih.
Prof Ali Muhammad Al Audah mengatakan, “karena orang yang mushlih memang akan mencoba mengubah kerusakan yang telah nyaman dilakukan orang-orang zalim.“
Coba perhatikan, pada awalnya semua orang Makkah mencintai pribadi Nabi Muhammad ﷺ sebelum beliau diangkat jadi Rasul. Sebab beliau adalah manusia yang sangat shalih secara karakter.
“Namun, ketika Muhammad ﷺ diangkat oleh Allah menjadi seorang Rasul dan diberi amanah untuk memperbaiki manusia, penduduk Makkah berbalik menjadi musuh yang merintangi, bahkan sampai memanggil Nabi dengan nama ‘tukang sihir dan pendusta”, tulis Profesor Ali Muhammad Al Audah dalam laman Harakah At Tarikh.
Wah, berarti setiap orang mushlih pasti akan ditentang ya?
Begini, teman-teman. Setiap perubahan pasti akan menghadapi tantangan. Akan ada orang yang tak nyaman. Akan selalu muncul orang yang kaget dan merasa terguncang.
Namun, para agen perubahan sejati memahami respon itu. Orang-orang mushlih yang hebat paham bahwa ada seni dalam berdakwah, yang akan membuat orang-orang lambat laun mau menerima seruan kebenaran.
Hal itu bernama “Fiqh Dakwah“, ada caranya, seninya, bahkan metode-metodenya yang variatif. Baginda Rasulullah ﷺ adalah sumber inspirasi dari seni berdakwah itu. Beliau punya cara berbeda dalam menghadapi orang dan latarbelakang yang berbeda.
Ada yang suka dengan dialog, ada yang paham dengan contoh, ada yang jatuh cinta dengan hadiah, ada yang melembut hatinya dengan hubungan kekerabatan. Seperti pasien saja; penyakitnya beda, maka treatment-nya pun akan beda. Seperti itulah Rasulullah ﷺ menjadi “dokter” bagi “pasien-pasien” yang perlu diobati dengan cahaya kebenaran.
Fiqh Dakwah ini jugalah yang digunakan para Walisongo ketika membentangkan risalah Islam ke Nusantara. Gaya beliau berbeda-beda. Esensinya sama: mentauhidkan Allah dan mengamalkan syariat Islam, namun cara berdakwahnya menyesuaikan background masyarakatnya.
Itulah maksud dari ayat, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik….” (QS An Nahl 125)
Ditulis oleh : @edgarhamas